Kamis, 13 November 2014

Aliran Humanis dan Struktural

ALIRAN PSIKOLOGI PENDIDIKAN
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Psikologi Pendidikan yang diampu oleh:
Taufik Muhtarom, M.Pd



 














Disusun oleh:
1.    Susanti (13144600046)
2.    Rakis   (13144600054)
3.    Riski Dwi Putra   (13144600073)
4.    Devita Lis Indriati      (13144600080)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS PGRI YOGYAKARTA
2014





KATA PENGANTAR


Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan makalah ini sebatas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki. Dan juga kami berterima kasih kepada Bapak Taufik Muhtarom, M.Pd selaku dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan-kekurangan dan jauh dari apa yang kami harapkan. Untuk itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya makalah yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya kami mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang  membangun demi perbaikan di masa depan.



Yogyakarta, 17  September 2014


Penulis                        

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. ii
DAFTAR ISI. ii
BAB I PENDAHULUAN.. 1
A. LATAR BELAKANG.. 1
B. RUMUSAN MASALAH.. 1
C. TUJUAN PENULISAN.. 1
BAB II PEMBAHASAN.. 2
A.     ALIRAN STRUKTURALIS. 2
B.     ALIRAN HUMANIS. 4
1)      Arthur Combs. 4
2)      Carl Rogers. 6
3)      Abraham maslow “Being Needs”. 8
4)      Bloom dan Krathwol 12
5)      Kolb. 15
6)      Habermas. 16
BAB III PENUTUP. 18
A.     KESIMPULAN.. 18
B.     SARAN.. 18
DAFTAR PUSTAKA.. 19




BAB I

PENDAHULUAN

A.    LATAR BELAKANG

Memasuki abad ke-19 beberapa ahli psikologi mengadakan penelitian eksperimental tentang teori belajar, walaupun pada waktu itu para ahli menggunakan binatang sebagai objek penelitiannya. Penggunaan binatang sebagai objek penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa apabila binatang yang kecerdasannya dianggap rendah dapat melakukan eksperimen teori belajar, maka sudah dapat dipastikan bahwa eksperimen itu pun dapat berlaku bahkan dapat berhasil pada manusia, karena manusia lebih cerdas daripada binatang.

Dari berbagai tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokkan dalam empat kelompok atau aliran, yang diantaranya adalah aliran struktularis dan aliran humanis.

B.     RUMUSAN MASALAH

1.      Apa itu aliran strukturalis?
2.      Apa itu aliran humanis?
3.      Bagaimana aliran humanis menurut Arhur Combs “Meaning”?
4.      Bagaimana aliran humanis menurut Carl Rogers “Client Centered Therapy”?
5.      Bagaimana aliran humanis menurut Abraham Maslow “Being Needs”?
6.      Bagaimana aliran humanis menurut Bloom dan Krathwol?
7.      Bagaimana aliran humanis menurut Kolb?
8.      Bagaimana aliran humanis menurut Habermas?

C.    TUJUAN PENULISAN

1.      Mengetahui tentang aliran strukturalis.
2.      Mengetahui tentang aliran humanis.
3.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Arhur Combs “Meaning”?
4.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Carl Rogers “Client Centered Therapy”?
5.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Abraham Maslow “Being Needs”?
6.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Bloom dan Krathwol?
7.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Kolb?
8.      Mengetahui tentang aliran humanis menurut Habermas?

BAB II

PEMBAHASAN

A.  ALIRAN STRUKTURALIS
Strukturalisme  merupakan aliran yang pertama dalam psikologi karena dikemukakan oleh Wilhelm Wundt setelah ia melakukan eksperimennya di laboratotium. Wundt dan pengikut-pengikutnya berpendapat bahwa pengalaman mental yang kompleks sebenarnya adalah hanya persenyawaan kimiawi yang tersusun dari unsur-unsur kimiawi. Mereka bekerja atas premis-premisnya menyelidiki struktur kesadaran dan mengembangkan hukum-hukum pembentukannya.
Pada pertengahan abad ke-19, yaitu pada awal berdirinya psikologi sebagai satu disiplin limu yang mandiri, psikologi didominasi oleh gagasan serta usaha mempelajari elemen-elemen dasar (Alim, Muhammad. B. 2009)  dari kehidupan mental orang dewasa normal, melalui penelitian laboratorium dengan menggunakan metode intropeksi. Pada masa itu, tercatat aliran psikologi yang disebut psikologi strukturalisme. Tokoh psokologi strukturalisme ini adalah Wilhelm Wundt. Wundt dan pengikut-pengikutnya disebut strukturalis karena mereka berpendapat bahwa pengalaman mental yang kompleks itu sebenarnya adalah “struktur” yang terdiri atas keadaan-keadaan mental yang sederhana, seperti halnya persenyawan-persenyawan kimiawi yang tersusun dari unsur-unsur kimiawi. Ciri-ciri dari strukturalisme Wundt adalah penekanannya pada analisis atau proses kesadaran yang dipandang  terdiri atas elemen-elemen dasar, serta usahanya menemukan hukum-hukum yang membawahi hubungan antar elemen  kesadaran tersebut. Karena pandanganya elementalistik ini, psikologi strukturalisme disebut juga psikologi elementalisme. Selain dipandang terdiri atas elemen-elemen dasar, kesadaran, oleh Wundt dan para ahli psikologi lainnya pada masa itu, dipandang sebagai aspek yang utama dari kehidupan mental. Segala sesuatu atau proses yang terjadi dalam diri manusia, selalu bersumber pada kesasaran.
Metode yang dipakai dalam strukturalisme ialah metode instropektif. Metode introspeksi ialah orang yang menjalani percobaan diminta untuk menceritakan kembali pengalamannya atau perasaannya setelah ia melakukan suatu eksperimen. Sensasi seperti manis, pahit, dingin dapat diidentifikasi memakai introspeksi.
Menurut  Jean Piaget, strukturalisme itu sulit dikenali karena mencakup bentuk-bentuk yang beragam sehingga sulit menampilkan sifat umum dan karena “struktur-struktur” yang dirujuk memperoleh arti yang cenderung berbeda-beda.Struktrur adalah sistem transformasi yang mengandung kaidah sebagai sistem dan yang melindungi diri atau memprkaya diri melalui peran tranformasi-tranformasinya, tanpa keluar dari batas-batasnya atau menyebabkan masuknya unsur-unsur luar. Piaget menyebutkan tiga sifat yang dimaksud dalam sebuah struktur , yakni: totalitas, transformasi, dan pengaturan diri. Sebuh struktur kata Piaget, harus dilihat  sebagai sesuatu totalitas, meskipun terdiri atas sejumlah unsur, struktur unsur-unsur itu berkaitan satu sama lain dalam sebuah kesatuan. Dilihat secara hierarkis, sebuah struktur terdiri atas sejumlah sub struktur yang terikat oleh struktur yang lebih besar. Dengan demikian, pengertian struktur tidak terbatas pada konsep terstruktur, tetapi sekaligus juga mencakup pengertian prases menstruktur. Pengertian transformasi pada dasarnya sejalan dengan konsep tata bahasa generatif-transformasional Chomsky. Sifat yang dinamis ini berkaitan dengan kaidah otoregulasi yang ada pada sebuah strutur.
Tokoh strukturalisme lain adalah Edward Bradford Titcherner(1867-1927). Titcherener merupakan orang Inggris yang pertama yang mewakili pandangan-pandangan psikologi Jerman (Wundt) sebagai murid Wundt, ia menerjemahkan beberapa buku Wundt dalam bahasa inggris. Setelah belajar di Leipzig, Titchener ingin kembali ke Oxford, namun ditolak, karena psikologi di Inggris tidak sejalan dengan Wundt. Oleh karena itu,ia pergi ke Cornell University di Amerika Serikat, dan sebagai guru besar, ia mengembangkan strukturalisme di Amerika Serikat dari universitas tersebut.
B.  ALIRAN HUMANIS
Teori belajar yang kedua yaitu humanistik. Dalam teori humanistik, yang menjadi tujuan belajar adalah memanusiakan manusia. Jadi, peserta didik dalam proses belajarnya harus berusaha mencapai aktualisasi diri dengan sebaik-baiknya. Proses belajar baru dianggap berhasil jika anak didik mampu memahami dirinya sendiri dan lingkungannya.
Ada beberapa tokoh penting dalam aliran humanistik. Antara lain Arthur Combs, Carl Rogers, Maslow, Bloom dan Krathwohl, Kolb, dan Habermas.

1)        Arthur Combs “Meaning
Arthur Combs banyak mencurahkan pikiran dan perhatiannya dalam dunia pendidikan. Bersama temannya yang bernama Donald Snygg, Arthur Combs bergelut di dunia pendidikan. Konsep dasar yang sering mereka gunakan adalah pengartian, makna (meaning). Belajar akan terjadi jika mempunyai arti bagi setiap individu (dalam Subini, 2012:139).
Teori Arthur Combs ini tentu sangat mungkin diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar saat ini. Bagaimana tidak? Ketika suatu saat seorang anak didik menyela, buat apa mengajari tentang integral, diferensial, toh tidak ada gunanya dalam kehidupan sehari-hari, untuk apa? Mencari uang juga tidak memakai ilmu sejarah atau integral, diferensial, dan sebagainya?
Oleh karena itulah pentingnya untuk mengetahui apa makna dari hal yang dipelajari. Anak didik harus mengerti mengapa mereka harus mempelajari suatu pelajaran tertentu. Mengapa harus belajar matematika, belajar bahasa Inggris, dan sebagainya. Jika mereka memahami untuk apa mereka belajar, tentu tidak akan ada murid tidak bisa matematika, atau kesulitan bahasa Inggris. Mereka tidak bisa, atau sulit itu dikarenakan mereka terpaksa dalam belajar, atau merasa enggan dan merasa tidak penting mempelajari hal tersebut (dalam Subini, 2012: 140).
Menurut Combs, Avila dan Purkey (dalam Rumini, 1995: 103), perilaku yang keliru atau tidak baik terjadi karena tidak adanya kesediaan seseorang melakukan apa yang seharusnya dilakukan sebagai akibat dari adanya sesuatu yang lain yang lebih menarik atau memuaskan. Misalnya guru mengeluh murid-muridnya tidak berminat belajar, sebenarnya hal itu karena murid-murid itu tidak berminat melakukan apa yang dikehendaki oleh guru. Kalau saja guru tersebut kemudian mengadakan aktifitas-aktifitas yang lain, barangkali murid-murid akan merubah sikap dan reaksinya.
Dalam hal ini guru juga tidak bisa memaksakan materi yang disuka atau tidak oleh para peserta didik. Atau materi tertentu tidak relevan dalam kehidupan sehari-hari. Menjadi tugas guru untuk memahami perilaku anak didiknya yang berbeda-beda sebelum memberikan pelajaran tertentu (dalam Subini, 2012:140). Guru juga harus berusaha mengubah keyakinan atau pandangan yang ada pada anak didik.
Arthur Combs (dalam Subini, 2012: 140) berpendapat bahwa banyak guru yang berbuat kesalahan karena berasumsi bahwa siswa mau belajar jika materinya disusun dan disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti untuk mempelajari suatu materi tidak menyatu pada materi tersebut. Yang terpenting adalah bagaimana membawa anak didik untuk mendapatkan arti bagi dirinya dari materi pelajaran yang diberikan dan mengaitkannya sendiri dalam kehidupan.


2)             Carl RogersClient Centered Therapy”
Carl Ransom Rogers (1902-1987) lahir di Oak Park, Illinois pada tanggal 8 Januari 1902 disebuah keluarga Protestan yang fundamentalis. Menurut Rogers (Subini, 2012, hal. 140), manusia mempunyai potensi-potensi yang sehat untuk maju. Sebagaimana pengertian dari humanisme sendiri adalah sebagai doktrin atau sikap dan cara hidup yang menempatkan nilai-nilai manusia sebagai pusat dan menekankan pada kehormatan, harga diri, dan kapasitas untuk merealisasikan diri untuk maksud tertentu (Subini, 2012, hal. 141)
Carl Rogers terkenal dengan teori belajarnya “Client Centered Therapy”. Teori belajar dimana tidak menganggap orang yang berkonsultasi sebagai pasien tetapi justru dijadikan sebagai klien. Rogers tidak mempermasalahkan bagaimana klien menjadi seperti ini, namun lebih menekankan bagaimana klien akan berubah. Terapis hanya menolong dan mengarahkan klien dan yang melakukan perubahan adalah klien itu sendiri. Itulah sebabnya teori Rogers juga sering disebut sebagai person-centered theory.
Yang menjadi asumsi dasar teori Rogers adalah kecenderungan formatif dan aktualisasi:
a)    Kecenderungan formatif
Segala hal di dunia baik organik maupun non-organik tersusun dari hal-hal yang lebih kecil.
b)   Kecenderungan aktualisasi
Kecenderungan setiap makhluk hidup ungtyk bergerak menuju ke kesempurnaan atau pemenuhan potensial dirinya. Tiap individu mempunyai kekuatan yang kreatif untuk menyelesaikan masalahnya.
   Menurut Rogers (Subini, 2012, hal. 141) ada beberapa prinsip dasar humanistik yang penting, seperti disebutkan dalam bukunya Freedom to Learn sebagai berikut:
a)    Setiap manusia itu mempunyai kemampuan belajar yang alami.
b)   Belajar yang signifikan terjadi apabila materi pelajaran dirasakan anak didik mempunyai relevansi dengan apa yang dibutuhkan.
c)    Belajar yang menyangkut perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya dianggap mengancam dan cenderung akan ditolak.
d)   Tugas-tugas belajar yang mengancam diri ialah lebih mudah diirasakan dan diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu diminimalkan (semakin kecil).
e)    Jika ancaman terhadap diri anak didik rendah, pengalaman akan lebih mudah diperoleh dengan berbagai cara yang berbeda-beda sehingga terjadilah proses belajar.
f)    Belajar akan lebih berrmakna jika dengan pengalaman (siswa melakukan langsung apabertanggung yang dipelajarinya).
g)   Belajar akan semakin lancar jika anak didik dilibatkan dalam proses belajar dan ikut bertanggung jawab terhadap proses belajar itu.
h)   Belajar inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi anak didik seutuhnhya, baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang mendalam dan lestari.
i)     Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas, lebih mudah dicapai terutama jika anak didik dibiasakan untuk mawas diri dan mengritik dirinya sendiri. Selain itu juga menerima saran dan kritik (penilaian) dari orang lain.
Menurut Rogers (Subini, 2012, hal. 142), ada dua tipe dalam belajar yaitu kognitif (kebermaknaan) dan experiental (pengalaman). Bagaimana seorang guru bisa menghubungkan suatu pengetahuan akademiknya dalam sehari-hari. Misalnya mempelajari ilmu bangunan dengan tujuan untuk dapat membuat rumah yang kuat dan kokoh. Atau mempelajari akuntansi agar bisa menjalankan bisnis.
Dalam hal ini pembelajaran experiental lebih menekankan pada penunjukan apa yang dibutuhkan dan diinginkan oleh anak didik. Sehingga yang menjadi kualitas dari pembelajaran experiental adalah mencakup keterlibatan anak didik secara mandiri, berinisiatif, adanya penilaian yang dilakukan oleh anak didik itu sendiri dan yang penting adalah adanya sesuatu hal (efek positif) yang membekas pada anak didik.
Beberapa prinsip pendidikan yang harus diperhatikan guru dalam proses pembelajaran menurut Rogers antara lain:
a)        Menjadi manusia berarti memiliki kekuatan yang wajar untuk belajar. Anak didik tidak harus belajar tentang hal-hal yang tidak ada artinya.
b)        Anak didik akan mempelajari hal-hal yang bermakna bagi dirinya.
c)        Pengorganisasian bahan pengajaran berarti mengorganisasikan bahan dan ide baru sebagai bagian yang bermakna bagi anak didik.
d)       Belajar yang bermakna dalam masyarakat modern berarti belajar tentang proses.

3)   Abraham maslow “Being Needs”
Teori Abraham maslow yang terkenal dengan “Being Needs” (Subini, 2012, hal. 143) mengemukakan bahwa setiap individu akan berupaya untuk memenuhi kebutuhan hierarkis. Hal ini didasarkan bahwa pada seiap asumsi bahwa setiap individu terdapat dua hal ya itu:
a.         Suatu usaha yang positif untuk berkembang
b.        Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu
Terdapat perasaan takut pada diri masing-masing orang seperti takut untuk mengambil keputusan, takut melangkah, takut gagal, takut melakukan usaha dan masih banyak ketakutan lain yang mungkin sebenarnya tak beralasan. Namun disisi lain seseorang mempunyai rasa dorongan untuklebih maju kearah keutuhan, keunikan diri, kearah berfungsinya seluruh kemampuan,kea rah percaya diri untuk meanghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ua dapat menerima diri sendiri (self).
Dalam hal ini Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadai beberapa hierarki.
   


Dalam hierarki Maslow (Subini, 2012, hal. 144) menjelaskan bahwa kebutuhan manusia itu bertingkat, mulai dari kebutuhan mendasar yang harus dipenuhi pada bagian bawah pyramid, dan kebutuhan manusia meningkat terus keatas apabila jenis kebutuhan yang dasar sudah terpenuhi. Selanjutnya Maslow (Rumini & Mahmud, 2000, hal. 107), berasumsi bahwa kalau seseorang telah dapat memenuhi semua kebutuhan yang tingkatnya lebih rendah tadi, maka motivasi akan diarahkan ke terpenuhinya kebutuhan aktualisasi diri yaitu kebutuhan untuk mengembangkan potensi atau bakat dan kecenderungan tertentu. Mulai dari kebutuhan yang paling dasar yaitu kebutuhan fisiologis, kemudian berlanjut ke kebutuhan akan keamanan (safety), kebutuhan dicintai (love belonging), kebutuhan untuk rasa percaya diri (esteem), dan kebutuhan puncak, yaitu aktualisasi diri (self-actualization).
a)    Kebutuhan fisiologis
Pada dasarnya, manusia harus memenuhi kebutuhan fisiologisnya untuk bertahan hidup. Pada hierarki yang paling bawah ini, yang termasuk kebutuhan fisiologis adalah manusia harus memenuhi kebutuhan makanan, tidur , minum, seks,dan hal-hal lainya yang berhubungan dengan fisik badan. Bila kebutuhan dasar ini belum terpenuhi, maka manusia akan mengalami kesulitan untuk berfungsi secara normal. Misalnya, seseorang mengalami kesulitan untuk mendapatkan makanan, sehingga ia menderita kelaparan, maka ia tidak akan mungkin mampu untuk memikirkan kebutuhan akan keamanannya ataupun kebutuhan aktualisasi diri. Secara sederhanan bisa dikatakan, bagaimanan mungkin seseorang dapat memikirkan prestasai atau aktualisasi diri, bila dirinya terus menerus dihantui rasa ketakutan akan rasa kelaparan?
b)   Kebutuhan keamanan (safety)
Pada hierarki tingkat kedua, manusia membutuhkan rasa keamanan dalam dirinya. Baik keamanan secara harfiah (keamanan dari perampok,  orang jahat, dan lain-lain),maupun keamanan secara finansial ataupun hal lainya. Dengan memenuhi kebutuhan keamanan tersebut, dapat dipastikan bahwa kebutuhan manusia dapat berlanjut ketahap berikutnya, yaitu kebutuhan kasih sayang dan sosial.
c)    Kebutuhan Kasih Sayang / Sosial (love /belonging)
Setelah memenuhi kebutuhan yang bersifat individu, kini manusia menapaki kebutuhan untuk diterima secara social. Emosi menjadi “pemain” utama dalam hierarki ketiga ini. Perasaan menyenangkan yang memiliki pada saat kita sahabat memiliki sahabat, seseorang untuk berbagi cerita, hubungan dekat dengan keluarga adalah tujuan utama dari memenuhi kebutuhan sosial ini.
d)   Kebutuhan percaya diri (esteem)
Semua orang pasti ingin dihormati dan ingin merasa bergua bagi orang lain. Kebutuhan untuk percaya diri ini biasanya muncul setelah kebutuhan yang lebih mendasar sudah terpenuhi, meskipun tidak menutup kemungkinan bahwa kebutuhan semacam ini dapat muncul tanpa harus memenuhi ketiga kebutuhan yang lebih mendasar.
e)    Kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization)
Umumnya, kebutuhan ini akan muncul bila seseorang merasa seluruh kebutuhan mendasar sudah terpenuhi. Pada hierarki ini, biasanya seseorang akan berhadapan dengan ambisi untuk menjadi seseorang memiliki kemampuan lebih. Seperti mengaktualisasikan diri untuk menjadi seorang ahli dalam bidang ilmu tertentu, atau hasrat untuk mengetahui serta memenuhi ketertarikanya akan suatu hal.
Hierarki kebutuhan motivasi Maslow menggambarkan motivasi manusia yang berkeinginan untuk bersama manusia lain, berkompetisi, dikenali, aktualisasi diri sekaligus juga menggambarkan motivasi dalam level yang lebih rendah seperti kebutuhan fisiologis dan keamanan.
Setiap individu akan berusaha mencapai tahap-tahap kebutuhan hidupnya. Apabila seseorang telah mencapai kebutuhan pertamanya seperti kebutuhan fisiologis maka ia akan berusaha memenuhi kebutuhan pada tingkatan berikutnya seperti mendapatkan rasa aman. Dan begitu seterusnya hingga manusia mencapai tingkatan yang paling atas.
Menurut Maslow (Subini, 2012, hal. 146), hierarki kebutuhan manusia ini sangat penting yang harus diperhatikan oleh guru saat proses belajar mengajar. Hal ini disebabkan motivasi dan kemauan (perhatian) untuk belajar tidak akan berkembang jika kebutuhan-kebutuhan dasar anak didik tidak terpenuhi. Bagaimana mungkin siswa bisa belajar dengan baik jika tidak mendapatkan rasa aman dari lingkungan sekitarnya, dan sebagainya.


4)        Bloom dan Krathwol
Dalam hal ini, Bloom dan Krathwol (Uno, 2006, hal. 13) menunjukkan apa yang mungkin dikuasai (dipelajari) oleh siswa, yang tercakup dalam tiga kawasan berikut.
a.       Kognitif
Kognitif terdiri dari eanam tingkatan, yaitu
1.                      Pengetahuan (mengingat, menghafal)
2.                      Pemahaman (menginterprestasikan)
3.                    Aplikasi (menggunakan konsep untuk memecahkan suatu masalah)
4.                      Analisis (menjabarkan suatu konsep)
5.                    Sintesis (menggabungkan bagian-bagian konsep menjadi suatu konsep utuh)
6.                    Evaluasi (membandingkan nilai, ide, metode dan sebagainya).
b.      Psikomotor
Psikomotor terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1.                   Peniruan (menirukan gerak)
2.                  Penggunaan (menggunakan konsep untuk melakukan gerak)
3.                   Ketepatan (melakukan gerak dengan benar)
4.                  Perangkaian (melakukan beberapa gerakan sekaligus dengan benar)
5.                   Naturalisasi (melakukan gerak secara wajar).
c.       Afektif
Afektif terdiri dari lima tingkatan, yaitu
1.                   Pengenalan (ingin menerima, sadar akan adanya sesuatu)
2.                   Merespons (aktif berpartisipasi)
3.                  Penghargaan (menerima nilai-nilai, setia pada nilai-nilai tertentu)
4.                  Pengorganisasian (menghubung-hubungkan nilai yang dipercayai)
5.                  Pengamalan (menjadikan nilai-nilai sebagai bagian dari pola hidup).
Taksonomi Bloom ini, seperti yang telah kita ketahui, berhasil member inspirasi kepada banyak pakar lain untuk mengembangkan teori-teori belajar dan pembelajaran.pada tingkatan yang lebih praktis, taksonomi ini telah banyak membantu praktis pendidikan untuk memformulasikan tujuan-tujuan belajar dalam bahasa yang mudah dipahami, oprasional serta dapat diukur. Dari beberapa taksonomi belajar, mungkin taksonomi Bloom inilah yang paling popular (setidaknya di Indonesia)
Selain itu, teori Bloom ini juga dapat dijadikan pedoman untuk membuat butir-butir soal ujian, bahkan oleh orang-orang yang sering mengkritik taksonomi tersebut. Kritikan atas klasifikasi kemampuan yang dikemukakan Bloom ternyata diperbaiki oleh para pakar pendidikan dengan mengadakan revisi pada aspek kognitif. Dalam klasifikasi taksonominya pada aspek kognitif Bloom mengemukakan enam tingkat kemampuan yang meliputi:
a.       Pengetahuan
b.      Pemahaman
c.       Penerapan
d.      Analisis
e.       Sitesis
f.       Evaluasi
Melalui pakar pendidikan (Uno, 2006, hal. 14) yang terdiri dari Peter W. Airasian, Kathleen A. Cruikshank, Richard E. Mayer, Paur E. Pitrich, James Raths, dan Merlin C. Wittrock dengan editor Orin W. Anderson dan David R. Krathwohl dalam buku yang berjudul A Taksonomi for learning, teaching, and Aseessing yang diterbitkan pada tahun 2001 mengadakan revisi aspek kemampun kognitif tersebut dengan memilih dua dimensi yakni dimensi pengetahun dan dimensi proses positif.
            Dalam dimensi pengetahuan didalamnya memuat objek ilmu yang disusun dari
a.       Pengetahuan fakta
b.      Pengetahuan konsep
c.       Pengetahuan prosedural
d.      Pengetahuan meta kognitif
Sedangkan dalam dimensi proses kognitif didalamnya memuat enam tingkatan yang meliputi :
a.       Mengingat
b.      Mengerti
c.       Menerapkan
d.      Menganalisis
e.       Mengevaluasi
f.       Mencipta

5)        Kolb
Sementara itu seorang ahli lain yang bernama Kolb (Uno, 2006, hal. 15) membagi tahapan belajar menjadi 4 tahap yaitu:
a.       Pengalaman konkrit
b.      Pengamatan aktif dan reflektif
c.       Konseptualisasi
d.      Eksperimentasi aktif
Pada tahap paling dini dalam proses belajar, seorang siswa hanya mampu sekedar ikut mengalami suatu kejadian. Dia belum mempunyai kesadaran tentang hakikat kejadian tersebut. Dia pun belum mengerti bagaimana dan mengapa suatu kejadian harus terjadi seperti itu. Inilah yang terjadi pada tahap pertama  proses belajar.
Pada tahap kedua, siswa lambat laun mampu mengadakan observasi aktif terhadap kejadian itu, serta mulai berusaha memikirkan dan memahaminya inilah yang kurang lebih terjadi pada tahap pengamatan aktif dan reflektif.
Pada tahap ketiga, siswa mulai belajar untuk membuat abstraksi atau ”teori” tentang suatu hal yang pernah diamatinya. Pada tahap ini, siswa diharapkan sudah mampu untuk membuat aturan-aturan umum (generalisasi) dalam berbagai contoh kejadian yang meskipun tampak berbeda-beda, tetapi mempunyai landasan aturan yang sama.
Pada tahap akhir (eksperimentasi aktif), siswa sudah mampu mengaplikasikan suatu aturan umum kesituasi yang baru. Dalam dunia matematika misalnya, siswa tidak hanya memahami “asal-usul” sebuah rumus, tetapi ia juga mampumemakai rumus tersebut untuk memecahkan suatu masalah yang belum pernah ia temui sebelumnya.
Menurut Kolb (Uno, 2006, hal. 15), siklus belajar semacam itu terjadi secara berkesinambungan dan berlangsung diluar kesadaran siswa. Dengan kata lain, meskipun dalam teorinya kita mampu membuat garis tegas antara tahap satu dengan tahap lainnya itu sering kali terjadi begitusaja sulit kita tentukan kapan beralihnya.

6)        Habermas
Ahli psikolog lain adalah Habermas (Uno, 2006, hal. 16) yang dalam pandangannya bahwa belajar sangat dipengaruhi oleh interaksi, baik dengan lingkungan maupun dengan sesama manusia. Dengan asumsi ini, Habermas mengelompokkan kelompok belajar menjadi tiga bagian, yaitu:
a)      Belajar teknis (technical learning)
b)      Belajar praktis (practical learning)
c)      Belajar emansipatoris (emancipator learning)

Dalam belajar teknis, siswa belajar bagaimana berinteraksi dengan alam sekelilingnya. Mereka berusaha menguasai dan mengelola alam dengan cara mempelajari keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan untuk itu.
Dalam belajar praktis, siswa juga belajar berinteraksi. Tetapi pada taham ini, yang lebih dipentingkan adalah interaksi antara dia dan orang-orang disekelilingnya. Pada tahap ini, pemahaman siswa terhadap alam tidak berhenti sebagai suatu pemahaman yang kering dan terlepas kaitannya dengan manusia. Akan tetapi, pemahaman terhadap alam itu justru relevan jika dan hanya jika berkaitan dengan kepentingan manusia.
Sedangkan dalam belajar emansipatoris, siswa berusaha mencapai pemahaman dan kesadaran yang sebaik mungkin tentang perubahan (transformasi) cultural dari suatu lingkungan. Bagi Hambermas, pemahaman dan kesadaran terhadap transformasi kulural ini dianggap tahap belajar yang paling tinggi sebab transformasi inilah yang dianggap sebagai tujuan pendidikan yang paling tinggi.

BAB III

PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Teori belajar adalah upaya untuk menggambarkan bagaimana seseorang belajar, sehingga membantu proses kompleks inheren pembelajaran. Teori  belajar juga bisa dikatakan sebagai suatu perangkat pernyataan umum yang digunakan untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi dalam kegiatan belajar.
       Pada dasarnya banyak sekali teori belajar yang dapat digunakan guru untuk proses kegiatan belajar. Adapun fungsi dan manfaat adanya teori belajar antara lain:
1.      Memberikan garis-garis rujukan untuk perancangan pengajaran.
2.      Menilai hasil-hasil yang telah dicapai untuk digunakan dalam kelas.
3.      Mendiagnosis masalah-masalah dalam ruang kelas.
4.      Menilai hasil penelitian yang berdasarkan teori tertentu.
5.      Membantu guru dalam memahami bagaimana anak didiknya belajar.
6.      Membantu guru bagaimana cara mengelola kelas.
7.      Membantu guru dalam merancang dan merencanakan suatu proses pembelajaran di kelas.
8.      Membantu proses belajar agar lebih efektif, produktif, dan efisien.
9.      Membantu guru untuk mengevaluasi proses dan perilaku guru yang bersangkutan serta hasil belajar yang telah dicapai anak didiknya.

B.  SARAN
Sebagai calon praktisi pendidikan, sebaiknya kita harus dapat mengetahui dan memahami tentang teori-teori belajar yang ada. Hal ini dapat berguna dan bermanfaat untuk kepentingan proses pengajaran yang dilakukan seorang guru kepada anak didiknya.
            Dengan adanya makalah ini, kami berharap dapat menambah wawasan bagi kita sebagai calon-calon pendidik. Dengan memahami dan mengerti adanya teori-teori belajar, kami harap seorang guru dapat memberikan pengajaran secara baik dan tepat sasaran. Kami berharap, para pendidik dapat mengerti pentngnya membawa anak didik untuk mendapatkan arti dari materi pelajaran yang diberikan dan dapat mengaitkannya sendiri dalam kehidupannya.


DAFTAR PUSTAKA

Alim, Muhammad. B. 2009. Psikologi Strukturalisme, (Online), (http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pendidikan/Aprilia%20Tina%20Lidyasari,%20M.Pd./Sejarah%20dan%20Aliran%20Psi-4.pdf diakses pada 17 September 2014 16:03)

Rumini, S., & Mahmud, M. D. (2000). Psikologi Pendidikan. Yogyakarta: Unit Percetakan dan Penerbitan (UPP) Universitas Negeri Yogyakarta.
Subini, N. d. (2012). Psikologi Pembelajaran. Yogyakarta: Mentari Pustaka.
Uno, H. B. (2006). Orientasi Baru dalam Psikologi Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.
Wahyono, Bambang. 2009. Aliran-aliran Psikologi (Online),
          (htttp://bambangwahyono.wordpress.com/aliran-psikologi/, diakses pada 11 September 2014 16:16)
 



Tidak ada komentar:

Posting Komentar